Rabu, 25 Januari 2012

Pengawasan dan Penegakan Hukum Pilkada Aceh 2006

http://perpustakaan-elsam.or.id/opac/index.php?p=show_detail&id=12457

Buku lengkap dalam bentuk soft copy tersedia gratis,
hubungi email rahmatfadhil@gmail.com

Monografi Politik

DI TENGAH hiruk pikuknya pertentangan dua pihak antara yang pro melanjutkan pilkada di Aceh dan yang meminta penundaan sementara, sampai adanya qanun baru tentang pelaksaaan pilkada, Komisi Independen (KIP) Aceh terus dengan percaya diri melanjutkan tahapan pelaksanaan pilkada secara konsisten. Ini ditunjukkan dalam pekan lalu telah mengumumkan kepastian jadwal pencoblosan pada tanggal 16 Februari 2012.

Melihat tahapan yang semakin dekat dengan babak kampanye, penulis ingin sedikit memberikan elaborasi tentang bagaimana persiapan yang memadai dalam merebut hati pemilih sebelum masa pencoblosan itu tiba. Mengutip pernyataan Prof Dr Riswanda Himawan, seorang pakar ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), yang menyatakan bahwa strategi jitu untuk merebut perhatian masyarakat sehingga menjatuhkan pilihannya kepada kandidat tertentu mestilah dilakukan sesegera dan sedini mungkin dalam setiap momentum dan kesempatan yang ada tanpa menunggu masa saat kampanye tiba. Dalam penelitiannya ia menyebutkan, masa kampanye hanyalah kesempatan kecil yang mampu melonjakkan perolehan suara pemilih sebesar 4 persen saja. Artinya kesempatan sebelum masa kampanye merupakan kesempatan strategis dan penting untuk secara gencar dan tersistematis melancarkan gerakan sosialisasi kandidat sehingga paling tidak setiap orang atau masyarakat, di mana mereka yang memiliki hak pilih yang akan memilih kandidat tersebut di sebuah kawasan, telah mengenal kandidat tersebut dan memiliki perhatian terhadap program maupun personalisasi kandidat itu.

Persoalan kemudian muncul, bagaimana mengetahui bahwa masyarakat tertarik pada satu kandidat atau bagaimana mengetahui sebab-sebab atau motivasi pilihan masyarakat sehingga menjatuhkan pilihannya pada suatu kandidat, sehingga menjadi modal informasi awal untuk memengaruhi kecenderungan pilihan para pemilih.

Di sinilah diperlukannya monografi politik (politics monograph). Monografi politik adalah seperangkat peta politik yang berupa data dan atau informasi berkaitan dengan preferensi (kecenderungan pilihan) politik para pemilih. Biasanya perangkat ini akan disediakan secara lengkap dengan menjadikan kelurahan atau desa sebagai basis terkecil analisis. Mungkin timbul pemikiran di benak kita semua mengapa perlunya monografi politik berbasis kelurahan atau desa untuk memenangkan pilkada yang sebentar lagi akan hadir di hadapan kita semua. Paling tidak ada beberapa analisis untuk menjawab ini.

Pertama, setiap kandidat mengharapkan merekalah yang paling populer dan strategis untuk dipilih masyarakat, hal ini sekaligus merepresentasikan kemestian bagi kandidat tersebut untuk merebut perhatian terbesar dari para pemilih di suatu kawasan.

Kedua, atas dasar pemahaman pentingnya mengetahui kecenderungan dan karakteristik pemilih di tingkat terkecil dalam komunitas masyarakat secara sistematis merupakan nilai berharga untuk menyusun arah strategi merebut hati sang pemilih. Seperti halnya bercinta dengan seorang kekasih, maka mengetahui apa yang disenangi dan disukai oleh kekasih kita adalah menjadi penting untuk tetap senantiasa membuatnya jatuh hati kepada kita. Sehingga ungkapan terlalu cinta menjadi motonya dalam keseharian.

Ketiga, data dan informasi pilihan politik masyarakat secara akurat dan terkini menjadi keharusan yang dimiliki oleh kandidat atau tim suksesnya. Seorang pakar manajemen menyatakan bahwa data merupakan 50 persen dari penyelesaian suatu masalah itu sendiri secara keseluruhan. Sehingga untuk memenangkan pilkada diperlukan data dan informasi secara akurat sebagai bagian kredit poin pemenangan seorang kandidat itu sendiri.

Keempat, mengingat persaingan antar-kandidat yang cukup ketat, bekerja berbasiskan data akan lebih terarah dan teroganisir secara matang, sehingga kerja-kerja berdasarkan perasaan dan perkiraan tim sukses tanpa data bukanlah zamannya lagi untuk bisa diandalkan.

Kelima, tujuan utama dari kampanye dalam pilkada adalah untuk menciptakan efek tertentu pada diri khalayak, sehingga identifikasi akurat terhadap karakteristik para pemilih perlu dilakukan. Hal ini dengan sendirinya akan mengarahkan program kampanye yang disusun dapat dipastikan menjangkau pemilih sasaran yang dituju. Karena setiap pemilih suatu kawasan memiliki kebutuhan yang tidak sama dengan kawasan lainnya. Dan Lebih dalam lagi, merestrukturisasi segmentasi pemilih ke dalam segmen-segmen yang relatif homogen akan semakin memudahkan materi dan saluran komunikasi yang akan digunakan kemudian. Menurut Nedra K. Weinrich, seorang pakar manajemen kampanye dari Universitas Harvard, menyatakan bahwa pelaksanaan program yang didasarkan pada perencanaan yang baik sebenarnya bukan saja memungkinkan anda mencapai orang-orang yang tepat dan tujuan yang diharapkan, tetapi lebih dari itu akan membuat anda dapat bertindak secara sistematis, terarah, dan antisipatif.

Keenam, lebih menghemat biaya untuk kampanye. Dengan mengetahui kecenderungan masyarakat, kebijakan menyalurkan dana secara berlebihan untuk program kampanye di suatu desa atau kelurahan akan lebih dapat dikurangi. Jadi dana yang tersedia tidak terbuang percuma untuk kampanye-kampanye yang tidak efektif dan malah mungkin hanya menguatkan dukungan bagi kandidat yang lainnya.

Ketujuh, monografi politik bersifat evaluatif, sehingga senantiasa waktu dapat di evaluasi sejauh mana proses, efek dan dampak yang terjadi selama masa waktu berjalannya masa pilkada, sejak masa sosialisasi, kampanye sampai saat pencoblosan. Karena sifatnya yang evaluatif inilah memungkinkan setiap saat arahan dan kebijakan pengintervensian terahadap sikap pilihan politik masyarakat dapat dilakukan oleh kandidat dan tim suksesnya. Inilah bagian yang sangat menarik dari monografi poltik itu sendiri, sehingga apa pun kondisi lapangan secara akurat akan mudah terdeteksi sejak dari awal. Sehingga jauh-jauh hari kita telah memiliki informasi tentang keadaan suatu daerah dan kecendrungan politik masyarakatnya di kawasan tersebut.

Oleh karena itu sesuai dengan tujuan monografi politik itu sendiri yaitu untuk mendapatkan data dan informasi sikap pilihan politik masyarakat secara akurat dan sebagai bahan persiapan yang lebih akseleratif bagi tim sukses atau kandidat, sehingga kesiapan akan langkah-langkah strategis terdepan jaringan mesin politik kandidatakan lebih baik lagi. Ini juga akan sangat bermanfaat untuk dapat digunakan terutama bagi penanganan basis dukungan, baik manfaatnya dalam jangka pendek berkaitan dengan pilkada atau setelahnya untuk kepentingan lain yang diharapkan. Tentu seorang kandidat sangat mengharapkan jatuh hatinya para pemilih terhadap kandidat tersebut lahir dari konsekuensi logis kepentingan yang lebih baik untuk membangun daerahnya itu, bukan karena sikap money politics (politik uang) atau janji-janji semu pemanis masa kampanye saja.

* Penulis adalah mantan Wakil Ketua Panwas Pilkada Aceh 2006. Dosen di Universitas Syiah Kuala.

Jalan Tengah Best Western dan Baiturrahman

Dalam dua pekan ini, publik Aceh dan khususnya warga kota Banda Aceh tengah hangat-hangatnya membicarakan rencana walikota yang akan memberikan izin pendirian Best Western Hotel yang akan berdiri secara berhampiran dengan Mesjid Raya Baiturrahman (MRB). Rencana ini telah mendapat banyak sorotan dari berbagai kalangan di Aceh, mulai dari ulama, cendekiawan, mahasiswa, akademisi, politisi dan bahkan juga para pemuka masyarakat. Terutama kecemasan berbagai pihak akan timbulnya efek negatif yang secara langsung akan mengganggu ketenteraman dan kenyamanan masyarakat kota Banda Aceh dalam melaksanakan kegiatan ibadah di MRB.

Walau sebelumnya Ketua DPRK Banda Aceh telah bersuara bahwa hotel ini akan dijalankan secara Islami, tetapi hal ini belum memberikan jaminan secara jelas kepada masyarakat. Akibat ketidakjelasan dan dipenuhi kesimpang-siuran manajemen kebijakan pembangunan dan pengelolaan hotel inilah yang sesungguhnya menjadi punca masalah tersebut.

Tulisan ini mencoba sedikit memberikan masukan jalan tengah sebagai bagian alternatif diskusi tentang rencana pembangunan hotel tersebut di Banda Aceh. Terlepas dari ada tidaknya berbagai kepentingan politis dan lingkungan serta lainnya, menurut penulis kalau memang ingin jujur dan ikhlas mendirikan hotel di samping MRB mestinya komunikasi dan mencari solusi secara aktif dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan tersebut, sekaligus ini modal investasi sosial mereka kini dan untuk masa yang akan datang. Sehingga kecemasan-kecemasan yang dipertanyakan warga kota dapat dijelaskan dan diuraikan dengan sejumlah komitmen-komitmen yang patut dipenuhi oleh pemerintah dan manajemen perusahaan pemilik hotel tersebut.

Beberapa jalan tengah yang menjadi kajian penting menurut penulis adalah, kalau kita berpandangan contohlah hotel-hotel yang ada di Saudi Arabia (Mekkah dan Madinah) yang semuanya berhampiran dengan mesjid-mesjid mulia (Masjidil Haram dan Mesjis Nabawi) atau hotel-hotel yang berdekatan dengan mesjid di Negeri Kelantan, Malaysia (salah satu negeri bersyariat Islam di Malaysia). Mereka sah-sah saja berjalan dengan baik antara keduanya, yang disertai sejumlah aturan yang ketat.

Lebih lanjut tentu hal ini membutuhkan diskusi yang lebih mendalam dan dapat menjadi cikal bakal pembuatan Qanun tentang pendirian dan perizinan pembangunan hotel di Aceh atau khususnya Banda Aceh dengan berwawasan syariat tentunya. Jadi, bukan sekedar menolak atau menerima begitu saja pemberian izin atas pendirian hotel tersebut. Masalah ini lebih kepada komitmen dan aturan hukum yang jelas. Ini yang pertama.

Kedua, dapat pula mencontoh model Hotel Sofyan yang saat ini ada di Jakarta. Hotel Sofyan ini memiliki pengawas Syariah-nya, jadi ada semacam Dewan Syariah dalam manajemen pengelolaan hotelnya. Sehingga segala seuatu berkaitan kebijakan, operasional, manajemen, pengelolaan, keuangan, semuanya berbasiskan pandangan syariah, semua transaksi berlaku secara syariah. Ini juga dapat mencegah perilaku atau tindakan yang mengarah kepada maksiat yang mungkin akan terjadi atau sengaja ditolerir oleh manajemen hotel.

Dewan Syariah hotel termasuk dalam bagian manajerial hotel, sehingga setiap kebijakan mestilah memenuhi aturan syariat itu sendiri. Dewan Syariah ini dapat dipilih dari MPU, IKADI, HUDA atau ulama lainnya, lebih baik lagi yang mengerti tentang perekonomian syariah.

Ketiga, kalau perusahaan hotel itu berniat untuk menambah warna syiar MRB, sebaiknya pilihan nama juga lebih menunjukkan sikap keberpihakannya pada nilai-nilai religi atau keacehan, termasuk arsitektur, pelayanan, dan asesoris hotel dipenuhi dengan nuansa keislaman, sehingga dengan sendirinya, suasana hotel seperti nuansa mesjid. Di antaranya ornamental, hiasan dan lainnya bernuansa Islam dan atau keacehan. Jadi dari segi nama menyebutkan nama Islam, bukan best western yang berbau kebaratan, dan isi hotel semuanya penuh dengan warna-warna islam. Pilihlah nama seperti Hotel Baiturrahhim, Hotel Riyadhusshalihin, Hotel Seuramoe atau Hotel Geutanyoe yang lebih bernuansa Islami dan keacehan. Memberi nama yang kebaratan ini secara tidak langsung ingin menunjukkan kepentingan lain yang juga mengarah secara sengaja untuk mengganggu terhadap nilai-nilai yang menjauhi kearifan lokal di Aceh.

Keempat, program-program manajemen pihak hotel ke depannya diharapkan mendukung wisata religi di Banda Aceh. Misalnya menawarkan paket ibadah, pasantren kilat, training keislaman, zikir akbar, wisata mesjid dan lainnya. Termasuk yang juga penting adalah sarana dan prasarana untuk mendukung program religi ini cukup tersedia dengan baik dari manajemen hotel itu sendiri. Dan lebih baik lagi program-program religi ini disinkronisasikan dengan program-program yang sudah direncanakan oleh pengurus MRB. Sehingga keduanya saling mengisi dan saling memberi manfaat. Komitmen ini yang mesti dibangun dari awal tentunya.

Kelima, makanan dan minuman. Ini adalah persoalan strategis bagi sebuah hotel. Pihak perusahaan dan manajemen mesti menjamin bahwa hotel ini memiliki makanan dan minuman yang bersertifikasi halal untuk disajikan kepada para pelanggan/tamu hotel. Dan lebih baik lagi juga memenuhi standarisasi makanan halalan thayyiban, seperti adanya jaminan sistem Analisis Haram dan Pengendalian Titik Kritis (Haram Analysis Critical Control Point atau HrACCP) dan sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point atau HACCP). HrACCP adalah sebuah sistem untuk mencegah terproduksinya barang haram sedangkan HACCP adalah sistem untuk mencegah terproduksinya barang berbahaya bagi kesehatan dengan cara melakukan tindakan pencegahan sedini mungkin melalui serangkaian proses. Jadi sertifikasi halal, sistem HrACCP dan HACCP adalah sebuah standarisasi yang sudah banyak digunakan di berbagai manajemen hotel dan industri produksi makanan/minuman di seluruh dunia.

Keenam, membayar zakat. Pihak pemerintah kota dan manajemen/perusahaan hotel membuat komitmen bersama agar hotel tersebut membayarkan zakatnya melalui lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah melalui badan atau lembaga amil zakat yang ada di Aceh. Jadi penambahan zakat yang berfungsi untuk membantu kalangan fakir dan miskin lainnya akan bertambah, seiring dengan bertambah majunya perkembangan hotel ini sendiri. Sehingga pilihan masyarakat menengah ke atas untuk membuat kegiatan dan perhelatan dapat memilih hotel berbintang yang membayar zakat. Selain mendapatkan kepuasan layanan dari manajemen hotel, pelanggan atau tamu juga berpahala karena telah berkontribusi untuk menambah penambahan pemasukan zakat di Banda Aceh khususnya.

Saya kira ini mungkin beberapa masukan alternatif yang saya sebut sebagai jalan tengah antara hotel dan mesjid, sekali lagi bukan hanya sekedar menolak atau mendukung sebuah kebijakan. Tapi sebuah kajian kritis yang diharapkan akan lebih memberi manfaat bagi semua pihak. Wallahu’alam bissahawab.[]

Pengawasan Pilkada

PASCA-penetapan calon gubernur/wakil gubernur dan calon walikota/wakil walikota serta calon bupati/wakil bupati oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan KIP Kabupaten/Kota yang melaksanakan Pilkada pada 2012 ini, serangkaian komentar, protes, keberatan, dan kecaman mengemuka, terkait kinerja Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada Aceh.

Panwas dianggap tidak tegas dalam menindak pemasangan berbagai atribut yang masih terpajang di berbagai sudut kota dan desa di seluruh Aceh. Sejak penetapan setiap pasangan bakal calon menjadi calon, maka mulai saat itulah seluruh atribut kampanye yang sebelumnya terpampang di berbagai tempat harus dibersihkan seperti diatur dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pilkada Aceh (Qanun Pilkada) yang menjadi rujukan utama penyelenggara dan pengawasan pilkada.

Menariknya adalah banyak pihak menyalahkan sepenuhnya penertiban atribut kampanye ini yang belum saatnya berkampanye kepada pihak Pengawas, padahal kalau merujuk pasal 40 Qanun Pilkada menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap waktu, tempat, tema dan tujuan kampanye sepenuhnya menjadi wewenang dan wilayah kerja KIP sesuai dengan tingkatannya masing-masing.

Jadi kalau terjadi pelanggaran berkaitan dengan kampanye selama dia bukan bagian dari pidana, maka sesungguhnya menjadi wewenang KIP untuk mengambil tindakan, baik berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk menghentikan, atau dengan aparat lainnya seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk membersihkan dan menertibkan.

Kesalahan persepsi inilah yang banyak memunculkan argumentasi lambannya kinerja panwas dalam masa tahapan penetapan calon ini, yang padahal ini merupakan wilayahnya KIP selaku penyelenggara. Tulisan ini bermaksud untuk memberikan diskursus tentang peran, tugas dan wewenang Panwas yang telah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Qanun Pilkada.

Merujuk pada kedua produk hukum itu disebutkan bahwa Panwas memiliki peran, tugas dan wewenang yang tertentu. Di mana tugasnya tidak hanya mengawasi peserta pilkada (kandidat atau pasangan calon), tetapi juga termasuk mengawasi penyelenggara (dalam hal ini KIP), pemerintah, dan masyarakat pada setiap tahapan pelaksanaan. Sehingga amanah UUPA dan Qanun Pilkada terhadap Panwas untuk melakukan kegiatan mengamati, mengkaji, memeriksa dan menilai proses penyelenggaraan pemilihan dapat terjamin sesuai dengan aturannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Panwas bukan sebuah badan untuk melakukan penindakan, penertiban, dan pembersihan, apalagi untuk secara langsung mengambil paksa berbagai atribut yang bertebaran di lapangan. Dan bisa jadi kalau tindakan itu dilakukan, malah hal tersebut dapat dipersalahkan karena melewati batas kewenangannya. Panwas hanyalah berperan untuk mengawasi saja proses perhelatan pilkada ini.

Jadi walaupun laporan masyarakat yang mengadu kepada Panwas, sepatutnya Panwas-lah yang menegur KIP untuk mengambil tindakan terhadap penertiban atribut kandidat yang masih terpajang tersebut, dan mendorong KIP secara aktif untuk senantiasa berkoordinasi dengan pihak terkait.

Wewenang panwas
Dalam pasal 62 UUPA dan pasal 21 ayat 1, 2 dan 3 Qanun Pilkada disebutkan bahwa tugas dan wewenang Panwas dilakukan melalui 4 mekanisme kerja. Pertama, melakukan pengawasan pada setiap tahap penyelenggaraan pemilihan. Pengawasan ini meliputi tahap pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye, pemungutan dan perhitungan suara, penetapan dan pengesahan hasil pemilihan, pelantikan calon terpilih, serta kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan seluruh tahapan pemilihan, termasuk uji baca Alquran dan tes kesehatan.

Kedua, menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pemilihan, seperti adanya perbedaan penafsiran atau suatu ketidaksepakatan tertentu atas satu aturan yang berhubungan dengan hukum, kebijakan, fakta, kegiatan dan peristiwa. Pihak-pihak ini bisa dari pasangan calon (kandidat), tim sukses, partai politik atau gabungan partai politik (lokal dan nasional), penyelenggara (KIP), pemilih dan pemantau.

Ruang lingkup sengketa yang dapat diselesaikan Panwas adalah setiap sengketa dalam semua tahapan pilkada, kecuali sengketa tentang hasil pemilihan yang merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi (sesuai pasal 236 ayat C UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

Ketiga, meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang, yaitu setiap temuan dan laporan yang telah dikaji panwas, bila memenuhi unsur pelanggaran administratif maka diteruskan ke KIP, sedangkan pelanggaran pidana akan diteruskan ke Kepolisian.

Selain itu status perkembangan laporan yang diajukan masyarakat juga mesti diberitahukan kembali kepada pihak pembuat laporan tersebut, sehingga transparansi dan profesionalitas kinerja Panwas menjadi jelas dan sesuai dengan harapan masyarakat.

Dan, keempat, pengaturan hubungan koordinasi antara panwas pada setiap tingkatan. Hal ini untuk memudahkan tugas-tugas pengawasan pada berbagai tingkatan yang dimandatkan UU dan Qanun kepada lembaga ini.

Dalam menjalankan pelaksanaan pengawasan ini, pihak penyelenggara (KIP) dan pihak terkait lainnya harus memberikan kemudahan kepada Panwas untuk memperoleh data dan informasi. Apabila tidak diberikan atau menghambat dan menghalangi pelaksanaan pengawasan ini, Panwas dapat melaporkan kepada Kepolisian untuk tindakan lebih lanjut sesuai dengan UU.

Mengingat peran Panwas cukup strategis dalam proses pilkada termasuk yang sekarang tengah berlangsung di Aceh, maka memahami peran, tugas dan wewenang Panwas menjadi penting bagi kita semua. Sehingga kita mengetahui kemana sepatutnya mengadukan persoalan-persoalan pilkada yang sedang berlangsung dihadapan kita saat ini. Ayo kita awasi bersama.

* Penulis adalah Pemerhati Pilkada dan Pemilu/Mantan Panwas Pilkada Aceh 2006.

Menduniakan Ilmuwan Aceh

SEBANYAK 55 ilmuwan Aceh yang sedang melanjutkan pendidikan master dan doktor, dan beberapa di antaranya tercatat sebagai dosen dan professor di berbagai perguruan tinggi di negara jiran Malaysia mendeklarasikan berdirinya International Asscociation of Acehnese Scholars (IAAS) atau disebut juga Ikatan Ilmuwan Aceh Internasional.

Penggagas IAAS antara lain Dr Syafiie Syam (Universiti Putra Malaysia), Dr M Iqbal Mochtar (Universitas Islam Antara Bangsa Malaysia), Dr Azhari M Syam (Universitas Malikussaleh), Rahmat Fadhil (Universitas Syiah Kuala), Dandi Bachtiar (Universitas Lampung), dan Muhammad Sayuti Fadhil (Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe).

Organisasi ini lahir bersamaan dengan Duek Pakat Ilmuwan Aceh Malaysia yang menghasilkan salah satu kesepakatan untuk membentuk forum ilmuwan Aceh di tingkat dunia internasional.

Visi organisasi IAAS ini adalah untuk membangun kebersamaan seluruh potensi ilmuwan Aceh di seluruh dunia dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia yang melibatkan partisipasi warga dunia. Sedangkan misinya adalah meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar-ilmuwan di berbagai negara untuk memajukan institusi pendidikan, pembangunan berkelanjutan, institusi riset, dunia usaha dan masyarakat.

Dari wadah ini diharapkan lahir spesifikasi ilmuwan Aceh lainnya, seperti Ikatan Ahli Mekanikal Aceh Internasional, Ikatan Ahli Nuklir Aceh Internasional, Ikatan Dokter Aceh Internasional, Ikatan Ahli Pertahanan Aceh Internasional, Ikatan Ahli Perkapalan Aceh Internasional, dan lain-lain.

Saat ini IAAS diketuai seorang Presiden yaitu Dr Syafiie Syam (UPM) dan Sekjend Dr M Iqbal Mochtar (UIAM). Sedangkan di jajaran penasihat tercatat tokoh-tokoh Aceh di Malaysia dan Indonesia seperti Prof Dr Tan Sri Sanusi bin Junid (Presiden Ikatan Masyarakat Aceh Malaysia atau IMAM), Prof Dr Syamsuddin Mahmud (mantan Gubernur Aceh), dan Prof Madya Puan Sri Nila Inangda Manyam Keumala Daud Beureu’eh (pensyarah di Universitas Malaya).

Dalam rentang waktu tiga bulan ke depan ilmuwan Aceh akan mengadakan pertemuan perdana tahunan di Universitas Islam Antara Bangsa Malaysia pada 26 Maret 2012 bersamaan dengan Konferensi Internasional Pembangunan Aceh (Aceh Development Internasional Conference atau ADIC) 2012 yang informasinya bisa diperoleh melalui website www.adic2012.yolasite.com. Sedangkan berbagai kegiatan yang terkait dengan Ikatan Ilmuwan Aceh Internasional bisa dilihat di laman website www.iaas-aceh.org.

Ke depan juga akan dibentuk komunitas-komunitas keilmuan berdasarkan disiplin ilmu dan kompetensi yang dimiliki oleh orang-orang Aceh di seluruh dunia. Untuk sementara ini setidaknya ada 15 komunitas di IAAS.(*)